Hidup, Menghidupi. Bergerak, menggerakkan. Berjuang, Memperjuangkan.

PENGEMBARA

"Dengan ilmu hidup menjadi mudah Dengan seni hidup menjadi indah Dengan iman hidup menjadi terarah"

JUST MY STYLE

"Seorang pejuang sejati tidak pernah mengenal kata akhr dalam perjuangannya. ia tidak memmerlukan gemuruh tepuk tangan, tidak akan lemah karena cacian, dan tidak akan bangga dengan penghargaan"

PENCARI KEBENARAN

"Hati yang bersih akan peka terhadap ilmu apapun yang dilihat, didengar, dan dirasa akan selalu menjadi samudera ilmu yang membuat kita kian bijak, arif, tabah, dan tepat dalam menyikapi hidup ini"

BERFIKIR JAUH KE DEPAN

"Waktu sangat berharga, maka janganlah engkau habiskan kecuali untuk sesuatu yang berharga pula Hidup terlalu singkat untuk berpikir kecil, dan berbuat hal yang kecil-kecil"

MAHKOTA PUTRA HARAPAN

"Semakin cinta kepada dunia akan semakin takut kehilangan. Namun jika kita mencintai akherat dengan bekal dunia, niscaya kita tidak akan takut kehilangan"

Latest Posts


Suasana pengap dengan aroma tujuh rupa bercampur menjadi satu, dan desak-desakkan penumpang yang kebanyakan kaum pelajar dan karyawan. Naila, demikianlah nama panggilan seorang gadis cantik yang duduk di dekat jendela, yang menyanggah nama lengkap Naila Sarah. Dengan raut muka yang nampak  kurang ceria, Naila sibuk mengipas-ngipaskan lembaran soal Try Out yang baru saja diikutinya. Hawa didalam mobil yang panas tambah berjejal membuat kegerahan.
                Apalagi diselingi suasana hatinya yang sedang resah. Bukan hanya soal try out tadi atau karena nasehat tutor  yang isinya itu-itu saja juga. Persiapan semalam dan kerja keras hari-hari sebelumnya membuat Naila Optimis, usaha lahiriyahnya akan membuahkan hasil. Tinggal Allah yang memutuskan lulus atau tidak dia dalam pertarungan ini.
                Lalu lalang kendaraan kian padat. Jalan sedikit macet. Mobil yang ditumpanginya tersendat-sendat. Kondektur masih juga menaikkan penumpang. Sesekali Naila melirik jam tangannya. Pukul dua belas lewat dua puluh menit.
                Para penumpang sibuk dengan urusan masing-masing, semuanya ingin segera sampai tujuan. Begitu pula Naila, dia tak peduli dengan jilbabnya yang semakin kusut dan warnanya kusam. Terminal bis tak kalah ramainya.
             “Alhamdulillah” gumam Naila, dia bersyukur, setengah perjalanannya sudah dilaluinya. Naila meneruskan perjalanannya. Dia  naik bemo kuning jalur 3 untuk sampai ke rumah Mbak Nely, putri bungsu Pakdenya.
                Naila berdiri di depan sebuah rumah mungil nan indah. Pekarangannya tertata rapi dengan pot-pot bunga berjajar, dengan dua batang pohon magga simanalagi tegak berdiri mengapit pohon pisang. Dilihatnya secarik kertas tersenyum simpul, dia melangkah kearah pintu.
                “assalamu’alaikum”… “wa’alaikum salam”. Naila ?”, mata Mbak Nely terbentak seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Keduanya berangkulan. “surprise kan Mbak ?”.
                “Ayo masuk !”  tangan Mbak nely dengan erat menggandeng Naila. “Jadi ikut bimbel bahasa Inggris di Jakarta ?, Kenapa nggak ngasih kabar sich ?, sms kek, atau nge-faks !” reflek runtunan pertanyaan di benak Naila keluar juga.
                Naila meneguk es teh yang dihidangkan mbak Nely “entar kalo’ ada pemberitahuan jadi nggak surprise donk Mbak”, mbak sendiri kan tau, saya ini orangnya suka bikin kejutan, hehehe…”
                Untuk sesaat Naila melupakan masalahnya, dengan pertamuan yang menyenangkan. Bagaimana cerita dengan mbak Nely yang hamper dua tahun setengah tak bersua, seakan tak ada habisnya. “Mas Ezain kemana Mbak ?” Tanya Naila. “dia sedang penataran di Malang lima hari sejak kemarin” jawab mbak Nely perihal adik semata wayangnya. “pecel kankungnya enak sekali” ujar Naila.
                “siapa dulu yang masak !” mbak Nely melirik mak Tum, pembantu yang memang pintar masak, mak Tum tersipu-sipi senang.
                “sebenarnya saya ragu-ragu kuliah Mbak”. Mata mbak Nely dengan cepat beralih dari layar TV ke sepupunya, terlihat benar keheranan itu. Namun sejurus kemudian sikapnya mulai biasa, tenang, dan penuh perhatian.
                “lo, kenapa ? apa sudah mau nikah nih ?”.  “ah, nggak juga”. Potong Naila.
                “banyak teman saya terutama yang sering ikut ta’lim, enggan melanjutkan kuliah. Kebanyakan mereka, lulus SMA atau MA sudah lebih dari cukup.  Jika diteruskan, banyak mudaratnya. Alasannya kawatir ikhtilat, alasan kodrat. Untuk apa, kan perempuan sekolah tinggi-tinggi kalo pada akhirnya hanya berada di sekitar dapur, sumur, dan kasur yang utamanya berbakti pada suami iya kan mbak ?. Jadinya …  tak perlu sekolah tinggi-tinggi ! tak perlu ambisi mengejar karier !  urus saja rumah tangga, suami, dan anak”.  
                Mbak Nely yang lulusan IAIN Wali Songo itu memandang Naila sejenak. “hal seperti itu juga pernah mbak alami dulu. Bahkan tidak sedikit teman-teman Mbak yang mogok kuliah, bukan karena tak mampu. Karena masalah-masalah yang kurang lebih sama dengan yang dikatakan naila tadi. Mbak sempat terpengaruh juga, apalagi salah satu diantara mereka adalah sahabat dekat. Memang benar alasan-alasan tadi, tapi tidak semuanya. Seorang muslimah  yang telah menikah wajib taat kepada suaminya, mengurus anak, rumah. Setelah taat kepada Allah dan RasulNya. Dalam konteks kehidupan sekarang, muslimah pun tidak boleh ketinggalan mendapat dan memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping pemahaman terhadap Diinul islam itu sendiri sebagai hal yang utama. Dan itu biasanya bisa kita dapatkan secara formal di sekolah atau perguruan tinggi. Dalam konteks tarbiyah islamiyah diupayakan keselarasan antara dua tujuan yaitu; membentuk pribadi yang memiliki komitmen penuh pada islam, menciptakan karakter yang kokoh tahan uji. Nah, erat kaitan dengan kedua konsep tadi dapat kita ambil essensinya yaitu, bahwa muslimahpun punya hak untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, kalau tidak begitu kita akan terisolasi. Bisa jadi, nanti malah orang kafir itu yang menguasai seluruh aspek kehidupan”. Penjelasan panjang mbak Nely kepada sepupunya tersebut.
                “tapi, bukankah kita harus pandai-pandai memilih bidang garapan kita. Ya Mbak? Maksud saya lahan pengabdian kita, setelah selesai kuliah kita harus tetap memiliki lahan yang sesuai dengan kodrat kita sebagai muslimah".
                “betul itu! Bagi ahkwat yang belum memasuki perguruan tinggi, prioritas keahlian yang diperlukan umat yang disesuaikan dengan kemampuan, bakat minat, serta tidak bertentangan kodrat kewanitaan. Cita-citamu Naila ?”.
                “emm… saya sangat ingin menjadi wanita ahli sekaligus penegak hokum”. Mengikuti jejak ayah nich ?” tanya mbak Nely. “bagus Naila, mbak do’ain semoga berhasil !” sambungnya.
                “amin !” timpal Naila. Puas hati Naila mendengar penjelasan panjang dari mbak Nely kini hatinya bulat untuk ber-tholabul ilmi di perguruan tinggi. Naila ingin meningkatkan ilmunya di bidang hukum, antara lain dengan menghafal dan menggali isi kandungan Al-Qur’an.  

Leave a Reply