Hidup, Menghidupi. Bergerak, menggerakkan. Berjuang, Memperjuangkan.

PENGEMBARA

"Dengan ilmu hidup menjadi mudah Dengan seni hidup menjadi indah Dengan iman hidup menjadi terarah"

JUST MY STYLE

"Seorang pejuang sejati tidak pernah mengenal kata akhr dalam perjuangannya. ia tidak memmerlukan gemuruh tepuk tangan, tidak akan lemah karena cacian, dan tidak akan bangga dengan penghargaan"

PENCARI KEBENARAN

"Hati yang bersih akan peka terhadap ilmu apapun yang dilihat, didengar, dan dirasa akan selalu menjadi samudera ilmu yang membuat kita kian bijak, arif, tabah, dan tepat dalam menyikapi hidup ini"

BERFIKIR JAUH KE DEPAN

"Waktu sangat berharga, maka janganlah engkau habiskan kecuali untuk sesuatu yang berharga pula Hidup terlalu singkat untuk berpikir kecil, dan berbuat hal yang kecil-kecil"

MAHKOTA PUTRA HARAPAN

"Semakin cinta kepada dunia akan semakin takut kehilangan. Namun jika kita mencintai akherat dengan bekal dunia, niscaya kita tidak akan takut kehilangan"

Latest Posts

Perjanjian dalam perkainan telah dimuat di dalam kompilasi hukum islam pada bab V pasal 29ayat 1, 2, 3, dan 4. pada pasal 1 dijelaskan tentang bolehnya melakukan perjanjian di dalam perkawinan, adapun bunyi pasal 1sebagai berikut:
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilansungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Selanjutnya pada pasal 2 dijelaskan tentang pengesahan perjanjian, pasal 3 tentang keberlakuan, dan pasal 4 tentang perubahan perjanjian tersebut. Adapun perjanjian di dalam pernikahan itu sendiri dijelaskan seperti berikut.
1.      Pengertian
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap terhadap harta benda mereka.
            Dalam literatur fiqh tidak ditemukan adanya bahasan khsus tentang perjanjian dalam perkawinan, namun  paling tidak keberadaan perjanjian di dalam pernikahan lebih dekat kepada maksud persyaratan dalam perkawinan atau syurutun nikah. Syarat yang maksud disini tidaklah sama dengan syarat perkawinan yang dibahas dalam sebagian besar literatir fiqh klasik karena yang dibahas dalam syarat yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang yang akan melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan. Perjanjian di dalam perkawinan ini bukanlah bagian dari sebuah akad pernikahan walaupun perjanjian ini dilaksanakan masih pada majelis yang sama dengan prosesi akad, karena apabila syarat tersebut dimasukkan ke dalam akad maka perkawinan tersebut bisa dijustis sebagai perkawinan mut’ah sesuai jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa akad nikah harus dalambentuk ucapan yang bersifat mutlak dalam arti tidak disyaratkan untuk kelansungannya dengan suatu syarat apapun.
            Oleh karena perjanjian dalam perkawinan terpisah dari akad nikah, maka tidak ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilaksanakan secara sah dengan pelaksanaan  syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini berarti bahwa tidak terpenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya sebuah pernikahan yang sudah sah.
2.      Hukum membuat perjanjian
Membut perjanjian dalam pernikahan hukumnya mubah, artinya boleh seseorang untukmembuat perjanjian atau boleh juga tidak membuat. Hukum membuat perjanjian ini tidaklah menjadi perdebatan akan tetapi hukum memenuhi segala persyaratan yang terdapat dalam perjanjian perkawinan itu, menjadi perbincangan di kalangan ulama’. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa  memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumnya wajib sebagimana hukum memenuhi perjanjian lainnya. Bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan . hal ini ditegaskan dalam hadis nabi dari Uqban bin Amir yang berbunyi.
أحق الشروط بالوفاء مااستحللتم به الفروج
“Syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat yang berkenaan dengan perkawinan.”

Al-Syaukani menambahkan alasan lebih layaknya memenuhi persyaratan yang berkenaan dengan perkawinan itu adalah karena urusan perkawinan itu yang sangat menuntut kehati-hatian dan pintu masuknya  sangat sempit.
3.      Bentuk perjanjian
Perjanjian kawin menurut KUHPer harus dibuat dengan akta notaries [pasal 147]. Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan kawin, juga bertujuan:
a.       Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa,oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul seumur hiup.
b.      Untuk adanya kepastian hukum
c.       Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah
d.      Untuk mencgah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan pasal 149 KUHPer.
4.      Isi perjanjian
Isi perjanjian tidak diatur oleh undang-undang perkawinan. Isi dari perjanjian adalah hak dari suami dan istri, mmereka bebas menentukan isi dari perjanjian yang akan mereka tentukan, namun isi perjanjian harus sesuai koridor hukum, agama, dan kesusilaan.
Asas kebebasan kedua belah pihak  dalam menentukan isi perjanjian kawinnya dibatasi oleh ketentun-ketentuan sebagai berikut:
a.       Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentagan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
b.      Perjanjian kawin tidak boleh mengurangi hak-hak karena kekuasaan suami, hak-hak karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami-istri yang hidup terlama.
c.       Tidak membuat janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan.
d.      Tidakdibuat janji-janji,bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar.
e.       Tidak dibuat janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh undang-undang Negara asing. 
E.   pencegahan perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk meniadakan atau usaha yang menyebabkan tidak berlangsungnya sebuah perkawinan. Pencegahan perkawinan berbeda dengan pembatalan perkawinan karena pencegahan berlaku sebelum terjadinya sebuah perkawinan sedangkan pembatalan perkawinan adalah usaha untuk menghentikan atau tidak melanjutkan hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu telah terjadi secara sah.
            Tidak ada aturan yang mengatur secara jelas tentang pencegahan perkawinan ini. Pada dasarnya perkawinan dapat dilangsungkan bila sudah ada sebab, rukun, dan syaratnya serta sudah tidak ada lagi hal yang menghalangi terjadinya perkawinan itu, akan tetapi bila  ada pihak yang melihat adanya syarat-syarat yang belum terpenuhi untuk melaksanakan sebuah perkawinan bisa saja pihak tersebut bertindak sendiri untuk tidak melangsungkan pernikahan tersebut.
Misalnya, saksi tidak akan mau menyaksikan sebuah perkawinan karena saksi tersebut yakin bahwa laki-laki dan perempuan itu terlarang untuk melakukan sebuah perkawinan. Begitu pula wali tidakakan melaksanakan perkawinan jika ia tahu calon menantunya itu tidak seagama dengan anaknya. Contoh lain juga bisa diumpamakan ketika seorang perempuan yang sudah dicerai suami dan masih berada dalam masa iddah harus menolak dilangsungkannya pernikahan bila dia yakin masih berada dalam masa iddah.
            Dalam kompilasi hukum islam (KHI) tentang perkawinan, pencegahan perkawinan diatur pada bab III pasal 13 sampai dengan pasal 21yang secara esensial tidak menyalahi aturan fiqh.
Pasal 13

“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-        syarat untuk melangsungkan perkawinan.”

Pasal 14

1)       yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu, dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2)      Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya sebuah perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1).
F.   batalnya perkainan
1.      dapat dibatalkannya perkawinan
            Pada dasarnya perkawinan dapat dibatalkan,bila sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan ke pengadilan. menurut hukum islam suatu perkawinan dapat batal. Untuk mengetahui sejauh mana hukum akad nikah yang dilangsungkan itu sehubungan dengan lengkap atau tidaknya rukun dan syarat yang wajib ada didalmnya.
Pasal 22 undang-undang perkawinan menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
            Dalam hukum islam dikenal berbagai larangan perkawinan yang tidak boleh dilanggar, antara lain adalah:
1)      adanya hubungan keluarga yang dekat.
2)      Derajat calon suami adalah lebih rendah dari calon istri.
3)      Seorang wanita menikah lagi dalam masa tunggu.
4)      Seorang wanita yang masih dalam keadaan kawin, kawin lagi dengan pria lain.
5)      Seorang suami yang beristrikan 4 orang kawin lagi dengan istri yang kelima.
Apabila larangan tersebut dilanggar, maka perkawinannya dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan (difasidkan).
2.      Alasan untuk menuntut batalnya perkawinan
            Hal-hal yang ditentukan undang-undang yang merupakan alasan-alasan  untuk menuntut batalnya perkawinan, antara lain:
1)      Adanya perkawinan rangkap
2)      Tiadanya kata sepakat pihak-pihak atau salah satu pihak
3)      Tiadanya kecakapan untuk memberikan kesepakatan
4)      Belum mencapai usia untuk kawin
5)      Keluarga sedarah
6)      Perkawinan antara mereka yang melakukan overspel
7)      Perkawinan antara orang yang sama
8)      Tiada izin yang disyaratkan
9)      Ketidakwenangan pejabat catatan sipil
10)  Perkawinan yang berlangsung walaupun ada pencegahan.
Untuk lebih lanjutnya, tentang pembatalan perkawinan telah diatur dalam UU perkawinan atau kompilasi hukum islam (KHI) tentang perkawinan pada BAB IV pasal 22 sampai dengan pasal 28.
G.  putusnya perkawinan
            putusnya perkawinan adalah istilah yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan peceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.
1. Alasan putusnya sebuah perkawinan
            Putusnya perkawinan menurut UU perkawinan pada BAB VIII Pasal 38 dapat terjadi karena:
a.       kematian,
b.      perceraian dan,
c.       atas putusan pengadilan.
2. Bentuk-bentuk putusnya perkawinan
            Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan itu ada beberapa bentuk tergantug dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk memutuskan sebuah perkawinan, dalam hal ini ada 4 kemungkinan:
1.      Putusnya perkawinan karena kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami atau istri. Dengan kematian ini dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinannya
2.      Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Hal ini disebut perceraian (talaq)
3.      Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak menghendaki itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima si suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putus perkawinan ini disebut khulu’.
4.      Putusnya perkawinan oleh hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan atau si istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan ini disebut fasakh.

[ Read More ]

Latar Belakang
     
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa menjauhkan dirinya dari hubungan interaksi dengan sesama manusia lainnya. Perikatan/Perjanjian atau yang dalam istilah arabnya disebut akad, adalah salah satu cara seseorang untuk dapat bertranksaksi dengan sesamanya. Perikatan/perjanjian didalam Islam, adalah sangat diperhatikan dalam Islam, sebagaimana yang telah kita ketahui dalam setiap kegiatan muamalah yang dilakukan muslim, selalu didalam rukunnya terselip akad. Hal ini dikarenakan dengan adanya akad maka kebebasan seseorang untuk memiliki suatu benda ataupun untuk melakukan sesuatu akan terjamin sepenuhnya, selama akad tesebut tidak fasid ataupun batil. Ajaran Islam sangat mementingkan keadilan dan kesejahteraan serta kenyamanan para penganutnya pada khususnya serta seluruh umat manusia pada umumnya, sehingga adanya akad yang shahih adalah sejalan dengan ajaran Islam sebagai rahmatan li al-alamin.
Hukum perdata, sebagai hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat suatu negara, juga tidak terlepas dari pembahasan tentang perikatan/perjanjian. Hal ini tidak dapat dielakan, sebab hukum serta peraturan manusia yang ada didunia pada dasarnya adalah untuk menciptakan keadilan dan kenyamanan bagi manusia itu sendiri. Sehingga wajar apabila hal-hal yang berkaitan dengan perilaku serta kegiatan yang menimbulkan interaksi antara manusia satu dengan yang lainnya diatur dalam hukum-hukum yang mereka buat sendiri pula.
Adanya peraturan dan ketentuan dalam melakukan suatu perjanjian atau perikatan adalah suatu suatu jaminan kebebasan dan keamanan tiap-tiap individu dalam melakukan tranksaksi antara sesamanya. Sehingga para pelaku tranksaksi tidak akan merasa was-was maupun takut dalam melakukan suatu tranksaksi sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang.

Memasuki era globalisasi, persaingan dalam dunia bisnis jasa asuransi terlihat semakin ketat. Perkembangan ekonomi dunia turut mempertajam persaingan antar perusahaan asuransi dalam berebut pasar. Meningkatnya kebutuhan proteksi keuangan terhadap jiwa dan harta benda yang dimiliki masyarakat, mendorong makin menjamurnya perusahaan-perusahaan asuransi nasional ataupun gabungan dengan investor asing, untuk menawarkan solusi investasi terbaik kepada masyarakat.
Maraknya kepailitan atas beberapa perusahan asuransi menimbulkan permasalahan tersendiri di kalangan masyarakat yang menggunakan jasa asuransi (pemegang polis), hal ini terjadi karena belum adanya kepastian hukum bagi para pemegang polis asuransi.
II. Rumusan Masalah 
Rumusan masalah dalam suatu makalah sangat penting, sebab dengan adanya rumusan masalah suatu penulisan yang dilakukan dapat terfokuskan pada permasalahan untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan dalam makalah ini sebagai berikut :
a)      Bagaimana konsep dasar mengenai hukum perikatan?
b)      Bagaimana proses pemailitan asuransi menurut hukum perdata di Indonesia?


      Konsep Dasar
      1. Definisi Perikatan
           Salim H.S. mendefinisikan hukum perikatan sebagai suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam suatu bidang tertentu (harta kekayaan), di mana subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi sedangkan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
 2.  Unsur-unsur Perikatan
           Dalam suatau perikatan terdapat beberapa unsur pokok, antara lain:
a)      Adanya kaidah hukum
        Kaidah hukum perikatan meliputi kaidah tertulis maupun tak tertulis.
b)      Adanya subjek hukum
        Subjek hukum terdiri dari kreditor dan debitor.
c)      Adanya prestasi
        Yaitu apa yang menjadi hak kreditor dan kewajiban debitor.
d)     Dalam bidang tertentu
        Bidang yang dimaksud adalah bidang harta kekayaan, menyangkut hak dan kewajiban yang dapat dinilai uang.


Macam-macam Perikatan
Dalam hukum perikatan perlu diketahui bahwa di dalamnya terdapat macam-macam perikatan yang mempunyai pengertian lebih kompleks. Berikut akan dijelaskan macam-macam hukum perikatan:
1.      Perikatan Murni
          Perikatan yang masing-masing pihaknya hanya terdiri dari satu orang.
2.      Perikatan Bersyarat
          Perikatan yang digantungkan pada syarat, yang dimaksud syarat adalah peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu akan terjadi.
3.      Perikatan dengan Ketetapan Waktu
          Perikatan yang pelaksanaannya itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan, waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti.
4.      Perikatan Alternatif
          Dikatakan alternatif karena debitor boleh memenuhi prestasinya dengan memilih salah satu dari dua barang, yang dijadikan objek perikatan.
5.      Perikatan tanggung menanggung
               Perikatan ini dapat terjadi apabila seorang debitor berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau sebaliknya.
6.      Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (devisible dan indivisible)
            Perikatan ini terjadi apabila barang yang menjadi objek prestasi dapat atau tidak dapat dibagi menurut timbangan, selain itu pembagian tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut.
7.      Perikatan Dengan Ancaman Hukuman
                Perikatan ini memuat suatu ancaman terhadap debitor apabila dia lalai tidak memenuhi kewajibannya.


      Timbulnya Suatu Perikatan
   Suatu perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian dan undang-undang .
   Adapun perikatan yang timbul dari undang-undang terbagi atas:
a)         Perikatan yang  lahir dari undang-undang saja
b)   Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang.


       Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Hukum perikatan adalah salah satu cabang hukum perdata yang menganut asas terbuka (Aanvullentrecht). Artinya, pihak-pihak yang akan melakukan perjanjian boleh melakukan aturan-aturan sendiri meskipun menyimpang dari pasal-pasal perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang. Ketentuan tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam KUH Perdata pasal 1338 . Namun apabila yang bersangkutan tidak mengatur sendiri maka secara otomatis mereka harus tunduk kepada peraturan yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Sistem terbuka ini juga mengandung pengertian bahwa peraturan-peraturan perikatan tertentu yang telah diatur dalam undang-undang adalah merupakan perjanjian yang sering dipakai pada saat undang-undang itu dibuat. Oleh karena itu, perjanjian-perjanjian yang tidak tercantum ketentuannya dalam KUH Perdata ataupun yang tercantum namun seiring perkembangan zaman sehingga tidak sesuai lagi dengan keadaan riil, maka peraturan yang dibuat dan disepakati oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian dinyatakan sebagai undang-undang bagi perjanjian tersebut.
Hukum perikatan, selain menganut asas kebebasan, juga menganut asas Konsensualisme (asas kesepakatan). Sehingga, kebebasan pihak-pihak yang melakukan perikatan dalam membuat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam perikatan tersebut, dijamin sepanjang antara pihak-pihak tersebut telah terjadi kesepakatan. Mengenai asas konsesualisme, undang-undang telah menerangkannya dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perikatan dinyatakan sah kesepakatannya dan dijamin kebebasannya apabila telah memenuhi empat syarat. Ke empat syarat tersebut (sebagaiman yang telah tercantum dalam pasal 1320 KUHPer) , yaitu:
1.    Kesepakatan bebas antara pihak yang melakukan perjanjian.
Suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang melakukan perjanjian dengan catatan kesepakatan tersebut dilakukan atas dasar kebebasan dan tidak ada pemaksaan, kealpaan ataupun kecurangan didalamnya. Kesepakatan tersebut bisa berupa pernyataan lisan, tertulis ataupun bahkan dengan diam. 
2.    Kecakapan untuk membentuk suatu perjanjian
Kecakapan yaitu kadar seseorang/suatu badan hukum dinyatakan mampu dan pantas menurut hukum untuk melakukan suatu perjanjian. Dalam hal ini pihak-pihak yang tidak dinyatakan tidak cakap menurut undang-undang yaitu:
a.     Anak yang belum dewasa (dewasa menurut undang-undang yaitu jika telah berumur 18 tahun)
b.    Orang yang dibawah pengampunan
c.    Perempuan yang telah menikah, tidak dinyatakan tidak cakap sepenuhnya, namun hanya pada hal-hal tertentu saja.
Orang-orang yang disebut diatas berhak mendapatkan perwalian ketika melakukan perikatan, dan apabila perikatan yang dilakukan mereka tanpa perwalian, maka diperbolehkan menuntut pembatalan perikatan tersebut dikemudian hari.
3.    Suatu hal tertentu yang diperjanjikan
Hal yang diperjanjikan dalam suatu perikatan/tranksaksi hendaklah jelas. Hal ini diperlukan karena kejelasan barang dalam suatu tranksaksi adalah salah satu jalan untuk menghindari adanya penipuan ataupun kesalahpahaman ketika telah terjadi kesepakatan nantinya
. Sehingga dengan adanya kejelasan tentang hal yang diperjanjikan dapat meminalisir terjadinya perselisihan antara pihak yang melakukan perjanjian. Mengenai ketentuan barang yang dijanjikan, undang-undang memberi batasan minimal yaitu barang yang dperjanjikan paling tidak sudah diketahui jenisnya.
4.    Suatu sebab yang halal (tidak ada larangan)
Sebab yaitu jalan yang dipakai untuk mencapai tujuan tetentu dalam suatu perikatan. Sebab yang diperbolehkan yaitu sebab-sebab yang tidak dilarang (halal). Sebab-sebab yang dilarang dalam suatu perjanjian antara lain; sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan kepentingan umum.
    
        Kebatalan dan Pembatalan Suatu Perjanjian
Perjanjian sebagaimana yang telah kita ketahui, dinyatakan sah apabila syarat-syarat sebelum terjadinya kesepakatan dan peraturan yang mereka sepakati telah terpenuhi. Perjanjian dapat dinyatakan batal apabila:
1.    Salah satu atau keseluruhan pihak yang melakukan perjanjian belum cukup umur, atas tuntutan pihak yang belum cukup umur tersebut. Namun apabila perikatan timbul dari suatu kejahatan yang dilakukan anak tersebut maka ketentuan tersbut tidak berlaku.
2.    Perikatan dilakukan atas dasar paksaan, penyesatan atau penipuan
3. Salah satu pihak merasa dirugikan pada perikatan-perikatan tertentu yang ditetapkan undang-undang.
Sedangkan bagi perempuan yang telah bersuami dan anak telah dianggap dewasa menurut kebiasaan, maka perikatannya tidak batal demi hukum, sepanjang tidak melampaui batas kekuasaan mereka.

         Saat dan Tempat Lahirnya Perjanjian
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dalam hukum perjanjian berlaku asas Konsensualisme, yang mana pada dasarnya perjanjian dan perikatan sudah dilahirkan ketika detik terjadinya kesepakatan perjanjian/perikatan tersebut. Sehingga apabila pada kasus jual beli (contohnya) telah terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli maka transaksi jual beli tersebut dinyatakan sah dan mengikat pada saat itu juga dan ditempat tersebut pula.
Perjanjian dinyatakan sepakat apabila syarat-syarat yang telah dipenuhi sebelumnya telah terpenuhi dan telah ada persetujuan atas aturan-aturan yang dibuat antara pihak yang melakukan perjanjian. Sedangkan mengenai adanya perjanjian secara tertulis setelahnya adalah merupakan salah satu peraturan yang disepakati antara pihak yang bersangkutan.


Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Perjanjian ialah suatu hubungan hukum di lapangan harta kekayaan, di mana seseorang(salah satu pihak) berjanji atau dianggap berjanji kepada orang lain, atau kedua belah pihak saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Melihat  macam-macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, sesuai definisi diatas perjanjian-perjanjian itu diklasifikasikan dalam tiga macam, yaitu:
1.      perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang
2.      Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3.      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Hal-hal yang harus dilaksanakan itu disebut prestasi .


Arti Melaksanakan Suatu Perjanjian
Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena itu melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain, yakni pihak yang berhak atas pelaksanaan perjanjian tersebut. Apabila perjanjian itu bersegi satu maka kewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut hanya ada pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain hanya mempunyai hak, tapi bilamana perjanjian itu bersegi dua maka kewajiban untuk melaksanakan perjanjian ada pada kedua belah pihak, sehingga keduanya secara timbal balik masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadapan satu sama lain.
Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
1. Pembayaran
a.       Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian
b.      Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
c.       Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
d.      Media pembayaran yang digunakan
e.       Biaya penyelenggaran pembayaran
2. Penyerahan Barang
            Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:
a.       Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
b.      Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
c.       Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
d.      Penyerahan harus nyata (feitelijk)


Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Sedangkan Prestasi adalah suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi dari perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan wanprestasi (kelalaian).
Seorang debitur yang melakukan wanprestasi dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada pihak tergugat.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam, yaitu:
1.      Sama sekali tidak memenuhi prestasi
2.      Tidak tunai memenuhi prestasi
3.      Terlambat memenuhi prestasi
4.      Keliru memenuhi prestasi
Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang atau debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu, diancam beberapa sanksi atau hukuman. Yaitu:
Pertama: membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau disebut ganti rugi
Kedua: pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Ketiga: peralihan risiko
Keempat: membayar biaya perkara, kalau sampai dipermasalahkan di depan hakim.


      Hapusnya Perikatan-Perikatan
Dalam KUH Perdata disebutkan sepuluh macam kriterian penghapusan suatu perikatan, yaitu:
1.      Pembayaran
2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3.      Pembaharuan hutang
4.      Perjumpaan hutang atau Kompensasi
5.      Percampuran hutang
6.      Pembebasan hutang
7.      Musnahnya barang yang terhutang
8.      Pembatalan perjanjian
9.      Berlakunya suatu syarat pembatalan
10.  Lewat waktu
 Menurut Subekti dalam bukunya “ pokok-pokok hukum perdata” perincian dalam pasal 1381 B.W. itu tidak lengkap, karena dalam KUH Perdata itu tidak tertera hapusnya perikatan karena lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam suatu perjanjian atau salah satu pihak dalam suatu perjanjian tersebut ada yang meninggal dunia.
a.       Pembayaran
Yang dimaksud oleh undang-undang dengan kata “pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi, jadi kata pembayaran tersebut itu tidak selalu ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, itu juga dinamakan pembayaran. Bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaannya untuk majikannya juga dikatakan”membayar”.
b.       Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan, adalah suatu cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak suka menerima pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang atau ia diperingatkan untuk mengambil barang itu dari suatu tempat.Jika ia menolak, maka barang itu disimpan di suatu tempat atas tanggungan si berpiutang.
c.       Pembaharuan hutang atau novasi
 Menurut pasal 1413 KUH Perdata, ada tiga cara untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi, yaitu:
1)   Bila seorang debitur membuat suatu perikatan hutang baru untuk kepentingan kreditur, yang menggantikan hutang  lama yang dihapuskan karenanya.
2)   Bila seorang debitur baru, ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya.
3)   Bila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur  dibebaskan dari perikatannya.
d.      Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
Yakni jika seorang berhutang mempunyai suatu piutang terhadap si berpiutang, sehingga kedua orang sama- sama berhak untuk menagih.
e.       Percampuran hutang
Yaitu apabila pada suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur  ada dalam satu tangan. Misalnya, anak hutang pada bapaknya, padahal kedudukan anak adalah ahli waris dari bapaknya.
f.       Pembebasan hutang
Yaitu apabila kreditor membebaskan segala hutang-hutang dan kewajiban pihak debitur. Dalam KUH Perdata dijelaskan (Pasal 1438,1439,1440,1441)
g.      Pembatalan perjanjian
Yaitu apabila perikatan itu batal atau dibatalkan, misalnya terdapat paksaan.
Dalam KUH Perdata dijelaskan. (Pasal 1446,1449)
h.      Hilangnya barang yang diperjanjikan
Yaitu apabila benda yang diperjanjikan itu binasa, hilang, atau menjadi tidak dapat diperdagangkan.Dalam KUH Perdata dijelaskan.(PasaI 1444,1445)
i.         Berlakunya suatu syarat pembatalan (timbul syarat yang membatalkan)
Yaitu ketentuan isi perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.
j.        Lewat waktu (kedaluwarsa)
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, yang dinamakan daluwarsa ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat diketahui dua macam kedaluarsa, yaitu:
1.      daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang (acquisitive prescription).
2.      daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan (extinctive prescription).

Pemailitan Perusahan Perusahaan Asuransi dalam Hukum Perikatan
1. Pengertian Asuransi
Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Pertanggungan atau asuransi yang masuk dalam wilayah hukum perikatan adalah perjanjian timbal balik antara penanggung dan penutup asuransi, dimana penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian dan/atau membayar sejumlah uang (santunan) yang ditetapkan pada penutup perjanjian, kepada penutup asuransi atau orang lain yang ditunjuk, sedangkan penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi.
Di dalam perjanjian asuransi disyaratkan adanya kata sepakat dari para pihak (penanggung dan tertanggung) yang mendasari terjadinya perjajian asuransi. Perjanjian ini tidak hanya dilakukan dengan cara lisan saja, tetapi harus melalui prosedur administrasi yang telah ditetapkan. Tindakan ini adalah langkah positif guna memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Undang-undang mengenai pembuktian perjanjian asuransi.
2. Prinsip Dasar Asuransi
Untuk memberikan kepastian di dalam pelaksanaan perjanjian pertanggungan, masing-masing pihak harus diatur secara jelas mengenai ketentuan tugas masing-masing. Sehingga hak dan kewajibannya secara jelas diatur dalam perjanjian tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
Dalam dunia asuransi ada 6 macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu:
a.       Insurable interest Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan, antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.
b.      Utmost good faith Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang material (material fact) mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak.
c.       Proximate cause Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independen.
d.      Indemnity Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).
e.       Subrogation Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.
f.       Contribution Hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity.
Undang Kepailitan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.   Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepailitan berarti suatu keadaan debitur berhenti membayar, baik karena keadaan tidak mampu membayar atau karena keadaan tidak mau membayar. Debitur sebagai pihak yang dinyatakan pailit akan kehilangan hak penguasaan atas harta bendanya dan akan diserahkan penguasaannya kepada curator dengan pengawasan seorang hakim pengadilan yang ditunjuk.

a.       Atas permohonan debitur sendiri
b.      Atas permintaan seorang atau lebih debitur
c.       Oleh kejaksaan untuk kepentingan umum
d.      Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan bank
e.       Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
 Pemailitan diatur dalam KUHPer Pasal 1131 yang menerangkan bahwa segala barang-barang bergerak dan tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Dalam masalah pelunasan utang-piutang juga dijelaskan dalam pasal 1132 KUHPer yang mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya.
             Kedua pasal yang tersebut merupakan jaminan bagi kreditor untuk mendapatkan pelunasan bagi semua piutangnya, tapi untuk melaksanakan pembayaran utang oleh debitor kepada kreditor dengan adil diperlukan peraturan khusus, salah satunya adalah peraturan khusus yang mengatur tentang kepailitan yaitu pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) mengatur bahwa:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”
            Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan 1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan Pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada Pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar Debitur. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada Kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan.
[ Read More ]